Je T’aime, Amel
Tinnnn...tinnnn.... bunyi klakson motor Adi pun memecah
lamunanku di teras. “Mel, udah siap belum? Buru nanti telat” teriak Adi dari
depan gerbang. Aku pun langsung pamit ke ibu untuk berangkat sekolah dan langsung
lari keluar, dan kami pun berangkat. Adi adalah teman mainku sejak kecil. Dia
tau semua tentangku. Mulai dari aku ini bawel, suka heboh liat cowok – cowok
korea, moody –an, pokoknya seluk belukku, Adi jagonya. Pulang – pergi sekolah
aku selalu bareng Adi. Bukan bermaksud apa – apa, tapi memang ibuku yang belum
mengizinkanku pergi sendiri, padahal aku ini sudah kelas 3 SMA.
Setibanya disekolah, Adi pun langsung memarkirkan motornya
di tempat favorite, di depan mushola. Katanya sih biar dapet berkat. Entah
apalah maksudnya itu, biarkan saja. Tiba – tiba, Dinda memanggilku, “Mel! Sini buru!”. Aku pun langsung melihat
ke arah dinda dari parkiran. “di, duluan ya, si Dinda manggil – manggil mulu”,
“oh yaudah mel, gw juga mau buru – buru ke kelas, mau nyontek MTK ama si Bino”.
Kami pun berpisah begitu saja dan aku pun langsung samperin Dinda. “kenapa sih
din? Teriak – teriak gitu. Kayak alay” . “lu mah mel, dikit – dikit alay. Gini
ya, gw denger – denger bakalan ada anak baru kesekolah kita”. “trus?penting
banget emang buat gw?” . “ah lu, ya jelas ya. Gw denger – denger juga ya, nih
cowok nih, ada keturunan France –nya. Udah gitu ya, aduh susah dijelsain!” .
“ya, paling ga jauh – jauh kena DO dari sekolahnya yang lama, lagian ngapain
orang prancis nyasar kesini” ucapku lalu langsung menuju kelas.
“pagi anak – anak”, guru pun masuk ke kelas dan dengan
spontan kami semua membalas sapaannya itu. “baiklah, pagi ini kita kedatangan
murid baru. Ayo nak, perkenalkan diri kamu”. “bonjour. Je’mapple Nathan. J’ai 17 ans. Je suis France – Indonesiene.
Merci” . Seketika kami semua pun diam berpikir apa yang ia katakan. Lalu
lanjutnya, “ah , i know. Kalian semua gak bisa French. Fine, i’ll introduce my
self with Indonesian. Lo semua bisa panggil gw Nathan. Gw Indo-France.
Sebenernya gw tinggal Bali, ya cuman karena bokap ada bisnis di Jakarta, kami
sekeluarga pindah kesini. Nyokap prancis.” Sambungnya. Lalu bu Sofie
mempersilahkan Nathan duduk. Sialnya anak baru yang songong itu duduk disebelah
ku. Entah mimpi apa aku semalam, hingga harus bertemu lelaki yang sombong ini.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Seperti biasa, aku menunggu
Adi di pos satpam sambil bersendah gurau dengan pak Asep, satpam sekolah kami.
Tak disangka Nathan pun datang menghampiriku. “Yo! Amel! I’ve been looking for
you.” Ucapnya. “apaan sih? Tau nama gw dari mana lagi”. “please deh mel, lo itu
temen sebangku gw. Mana mungkin gw gatau nama lo. Lagian kan lo anak pinter,
jadi ga mungkin gw ga tau nama lo”. “stop, to the point aja. Mau apa lo?”,
“biasa aja dong, nyolot banget deh. Gini, gw kan ketinggalan lumayan banyak
pelajaran tuh, jadi gw mau lo ajarin gw”. Tiba – tiba saja Adi datang, “Mel yuk
balik”, “lama banget sih lu di, gw udah jamuran nih” kataku bete. “sorry,tadi
rada ribet dulu dikelas”. “gw pikir – pikir dulu tan, bye!”. Seketika itu juga
aku pun meninggalkan Nathan dan pulang bersama Adi.
“ thanks ya di, mampir dulu sih, pasti ibu udah masak
masakan enak banget tuh”. “makasih deh mel, tapi gw langsung balik aja, banyak
tugas nih”. “ayo sih, mampir dulu aja” paksa ku. Akhirnya Adi pun mampir untuk
makan siang di rumah. Ibu memang sudah menganggap Adi seperti anaknya sendiri,
jadi wajar saja kalau ibu juga tahu semua tentang Adi. Semenjak ibunya
meninggal, Adi memang kurang kasih sayang seorang ibu. Maka dari itulah ibuku
memberikan kasih sayangnya juga kepada Adi. “btw, tadi siapa mel? Kok
sepertinya mukanya asing gitu sih di tatapan gw” ucap Adi. “oh, itu Nathan.
Anak baru dikelas. Lo tau ga? Anaknya itu nyebelin, songong, pokoknya gw rasa
dia itu ga asik deh. Sialnya lagi, dia duduk sebangku sama gw.” , “sembarangan
nih anak nih kalau ngomong. Gak boleh begitu, nanti naksir baru tahu rasa” kata
Adi menggodaku. “gak mungkin lah di, emang sih dia cakep trus bersih gitu,
tapi, no thanks” kataku dengan nada yang mentah – mentah menolaknya.
Tak terasa sudah hampir tengah semester aku duduk bersama
Nathan. Memang sih, dia bukan seburuk apa yang aku pikirkan. Ya walaupun dia
rada nyebelin, tapi selebihnya baik – baik aja kok. Dia cukup pintar memang. Entah
ini disebut apa, tapi setiap berkelompok, kami selalu bersama. Entah disengaja
atau tidak, bagiku ini aneh dan gak banget. Aku memang rada malas sih satu
kelompok sama dia, susah di ajak kerja sama, kecuali ada maunya. Hari itu kami
mendapatkan tugas IPS mengenai kehidupan sosial. Mau tak mau kami memang harus
mengamati langsung keadaan sekitar. Mulai dari yang bercukupan sampai yang
kurang.
“guys, kerjainnya di rumah gw aja yuk. Lagiankan tinggal
buat laporannya aja. Tenang, makan siang gw jamin.” Ucap Nathan. “serius lo
tan? Pizza ya pizza. Haha” canda Beni teman satu kelompokku. “Mie ayam juga
dong” sambar Meta. “beres. Semua yang lo mau, pesen!” ucap Nathan. Aku hanya
terdiam dan membiarkan mereka berbicara tentang makanan. “lo mau apaan mel?biar
nanti dipesenin pembantu gw sekalian” ucap Nathan padaku. “terserah deh, yang
penting makan”balasku padanya.
Waktu bel pulang pun berbunyi. “Tan, tunggu gw depan gerbang ya. Gw mau bilang ke Adi dulu” ucapku pada Nathan lalu pergi begitu saja. “Woi tan, itu si Amel mau kemana? Dia ga ikut kerja kelompok?” sahut Meta. “ikut. Mau laporan dia sama bodyguard.” Ujar Nathan enteng. “Adi maksud lo?” tanya Beni, “yoi siapa lagi. Yaudah yuk nunggu dia di gerbang aja”. Nathan, Beni dan Meta pun menunggu Amel di tempat yang sudah dijanjikan.
“Di!” teriak Amel. “tumben lo? Kenapa ga tunggu di pos aja?
Gw juga mau langsung balik kok. Ayo”. “gak di, gw mau kerja kelompok di rumah
Nathan. Nanti tolong bilangin ibu ya, gw pulang agak sorean” . “rumahnya dimana
emang? Gw jemput.” , “gak usah, gw balik sendiri aja. Lagian rumahnya deket
kok, di Puri Gading. Jalan kaki juga sampe rumah.”, “yakin? Nanti kalo ibu lu
nyariin gimana?” , “gw tau lo bisa yakinin ibu gw kok” ucapku. Aku pun langsung
pergi meninggalkan Adi dan menyusul Nathan di depan gerbang. “lama banget sih
pisahannya” ujar Nathan dengan nada bete. “tau nih Mel, kita udah semaput
nungguin lo.” Dukung Meta. Beni hanya menatap ku dengan tatapan bete. “maaf
deh” kataku pada mereka. Akhirnya kami pun menuju rumah Nathan menggunakan
mobilnya.
Setibanya di rumah Nathan, kami langsung makan. Karena
memang sudah lewat dari jam makan siang. Rumahnya yang besar memang sangat
nyaman sekali untuk ditempati. Setelah selesai makan kami pun langsung
mengerjakan tugas IPS kami. Tak tanggung – tanggung, kami pun menyelesaikannya
dengan waktu 2 jam. Memang waktu yang terbilang singkat. Hari pun semakin sore.
Meta pun pulang terlebih dahulu lalu disusul dengan Beni. “oh ya Mel, lo
dijemput?” tanya Nathan padaku. “engga kok , gw jalan kaki. Lagiankan rumah gw
gak jauh dari sini.” , “gw anter ya, gak baik sendirian, ini udah sore lagian”
katanya. Awalnya aku menolak, tapi karena Nathan memaksa, aku pun mengiakannya.
“oh, jadi lo anak tunggal toh. Tinggal sama nyokap doang?
Bokap?” tanya Nathan. “udah gak ada” , dengan rasa bersalah pun Nathan meminta
maaf atas pertanyaan itu. “tidak apa tan, lagian kan lo nanya, ya gw jawab,
haha” balasku. “kalau boleh tahu, kenapa bokap lo meninggal?” tanyanya lagi,
“gara – gara jantung tan.” Balasku. Setelah bertukar cerita banyak, akhirnya
akupun tiba di rumah. “makasih ya tan, sudah diantar pulang” , “sama – sama
mel, yaudah gw langsung balik ya. See you tomorrow”. Nathan pun langsung pulang
dan aku masuk ke rumah. Seperti biasa, aku langsung mandi dan makan sore
bersama ibu. Ibu bertanya siapa pemuda tadi, spontan saja aku membalasnya hanya
berkata “teman bu”. Hari sudah mulai malam. Tapi aku tidak bisa tertidur
seperti biasanya. Entah mengapa tiba – tiba saja Nathan muncul di dalam
pikiranku. Tidak mungkin, mana mungkin aku menyukai Nathan. Jelas saja aku
membencinya. Entah dari mana rasa ini timbul. Atau jangan – jangan karena sudah
diantar pulang? Aku pun bertanya – tanya dalam hati.
Sudah satu bulan berlalu, tapi perasaan ini masih tetap
terasa. Hubunganku dengan Nathan pun membaik. Dia menjadi sesuatu yang berbeda.
Sampai – sampai Dinda bertanya kepadaku, mengapa kami sungguh dekat, bukannya
awalnya kalian saling berantem, dan sebagainya. Tetap yang pertama kali
mengetahui perasaanku ini hanya Adi seorang. Entah mengapa Adi selalu tidak
menanggapi ceritaku masalah Nathan. Menyebalkan memang. Lalu pada suatu hari
Adi mengungkapkan perasaannya padaku. “aku tau ini gila Mel. Tapi aku gak bisa
menahan perasaan ini lebih lama lagi, aku sayang sama kamu. Tapi ini lebih dari
seorang sahabat. Aku juga mau kita lebih dari ini.” Ujar Adi. Entah mengapa
disaat itu aku merasa ada yang aneh. Aku sama sekali tidak bisa ini terjadi.
Mengapa Adi harus jatuh hati kepadaku. Sungguh aku tidak bisa. Akhirnya aku
menolak Adi secara baik – baik. Syukurlah, dia mengerti. Dia memang teman
terbaik. Hari – hari pun berjalan seperti biasa. Adi , Nathan , Dinda, ibu.
Merekalah orang – orang terdekatku. Khususnya Nathan, perasaan ini semakin
tumbuh. Aku tahu Nathan tidak akan pernah membalas perasaan ini. Kita berbeda.
Dia kaya, aku biasa saja. Ibuku ? Ia hanya seorang penjahit pakaian, tak lebih.
“mel, nanti malam ada acara?” tanya Nathan padaku. “tidak,
ada apa?” spontan saja aku menjawabnya. “jam 7 gw jemput ya, gw mau ajak lo
makan, bosen masakan bibi dirumah” katanya. Entah mengapa hatiku berdebar –
debar. Tidak sabar rasanya jam 7. Setibanya dirumah aku langsung membongkar
semua pakaianku. Tak ada yang pantas untuk ku kenakan. Semuanya jelek. Aku
hanya duduk terdiam. “kamu lagi ngapain mel?kok itu baju berserakan kemana –
mana.” Tanya ibu kepadaku. Lalu aku menceritakan semuanya kepada ibu. Ibu hanya
tertawa geli. “kok ibu malah ketawa sih?bukannya kasih aku solusi” ujarku.
“bentar ya”, tiba – tiba saja ibu meninggalkan ku menuju kamarnya, kudengar ia
membuka lemarinya. Lalu ibu kembali dengan dress cantik. “ini dulu pemberian
bapakmu, memang terkesan kurang modis, tp nanti tinggal diberi sedikit pernak –
pernih saja.” Ujar ibu padaku.
Waktu yang ku tunggu – tunggu pun tiba. Nathan datang 15
menit lebih cepat dari apa yang kubayangkan. Ibu sudah memanggilku dari ruang
tamu seakan mengisyaratku untuk cepat kesana. Aku pun melengkapkan riasanku
dengan lip gloss. Setelah itu pun aku
keluar kamar dengan mengenakan dress yang
diberikan ibu kepadaku dan make-up seadanya. “Wow, kamu cantik mel”. Seketika itu
Nathan mengatakannya. Jantungku makin berdebar. Kencang. Kami pun pamit dengan
ibu, ibu berpesan agar jangan pulang terlalu larut. Diperjalanan kami berdua
hanya malu – malu. Berbicara hanya seketika saja, itu pun bersamaan. Memang
tidak seperti biasanya. Malam hari ini Nathan terlihat berbeda. Ia terlihat
lebih cool lebih tenang. Aku suka.
Setibanya di restaurant , Nathan sudah menyiapkan semua.
Mulai dari awal pintu masuk, ia sudah menutup mataku. Ia menuntunku entah
kemanapun itu. Kami pun tiba di balkon. Ia membuka penutup mataku. Aku begitu
takjub, begitu banyak lilin di kolam. Seketika itu saja perasaanku meledak
kegirangan. Aku masih takjub melihat ini semua. Tiba – tiba saja, “aku sayang
kamu mel”. Spontan saja aku melihat Nathan. Seakan bertanya – tanya, aku ini
mimpi. Aku masih menatap Nathan dengan tatapan yang sama. Ia mengulangi kalimat
yang sama lalu memelukku. Spontan saja aku mengatakan hal yang sama, “aku juga
sayang kamu tan”. Malam terasa begitu indah. Udara yang dingin terasa begitu
hangat. Benar, aku menerima cintanya. Ini seperti mimpi.
Keesokan harinya, aku tidak sabar memberitahu kabar gembira
ini kepada Adi. Adi menjemputku seperti biasa. “di, lo tau gak sih, semalem,
Nathan nembak gue!!!” , “trus? Diterima?” tanyanya , “ya jelas lah gue terima”.
Entah mengapa perjalanan kesekolah terasa berbeda. Tidak seperti biasanya, Adi
hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Apa mungkin dia cemburu? Tidak
mungkin, jelas saja waktu itu dia berjanji akan mengubah perasaannya kepadaku.
Setibanya disekolah, aku pun penasaran. “di, kok lu diem aja sih?” , “mel, gw
duluan ya ke kelas, sampai ketemu pas pulang nanti” Adi pergi begitu saja. Aku
pun langsung menghampiri Dinda dan menceritakan tragedi semalam. Ia tampak
kaget dan tak percaya. Tapi itu memang kenyataan.
Sudah setahun lamanya aku berpacaran dengan Nathan. Tapi
sikapnya berubah belakangan ini. Aku pun bertanya kepadanya, tapi dia hanya
menjawab dengan hal yang sama, “mungkin hanya perasaan kamu saja, aku tetep
Nathan yang dulu”. Ya, yang dulu baginya, tapi tidak bagiku. Aku pun tidak bisa
mendiamkan ini begitu saja. Aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Malang
memang, aku tidak mendapatkan hasil. Malam ini Nathan mengajakku jalan. Aku
memang tidak berpikiran apapun, karena ini hal biasa yang kami lakukan. Malam
itu Nathan mengajakku ke tempat yang berbeda, dia mengajakku ke danau buatan
yang ada di daerah komplek rumahku. Memang ini pertama kalinya aku kemari. Tempatnya
indah, tenang, jauh dari kebisingan Jakarta. Nathan hanya terdiam. “kamu kenapa
diam saja?” , “maaf mel, tapi aku harus jujur sama kamu” , perasaanku spontan
saja bertanya – tanya apa yang akan ia katakan selanjutnya, dan benar saja.
“mel, besok aku harus balik ke Prancis, mamaku mau aku melanjutkan sekolah
disana, entah kapan aku akan kembali.” Lanjutnya. Aku tak mampu menghadapi ini
semua, “kenapa kamu baru ngomong sekarang? Kenapa tiba – tiba seperti ini?”
spontan saja aku menangis. Nathan memelukku dengan erat. Kami berdua pun hanya
terdiam dan bersiap untuk menghadapi kenyataan.
Sudah empat tahun lamanya semenjak kepergian Nathan. Hidupku
kembali seperti biasa. Adi dan ibu yang sekarang adalah temanku. Aku sekarang
sudah duduk di perguruan tinggi semester tiga. Waktu memang terasa begitu
cepat. Entah mengapa aku belum bisa mencari pengganti. Atau memang ini takdir
aku harus menunggunya? Tapi sampai kapan? Setelah pulang kuliah, tiba – tiba
kakiku menuju danau buatan itu. Kulihat ada seorang yang beridiri disana.
Pikirku, sudah ada orang yang mengetahui danau terpencil ini selain aku dan
Nathan. Aku pun berjalan mendekati air. Aku sengaja menjaga jarak dengan orang
itu, takut mengganggu lamunannya. “apa kabar?” , tiba – tiba saja aku mendengar
suara yang tak asing bagiku. Suara yang aku rindukan selama ini. Benar, itu
Nathan. Aku langsung terpaku melihatnya. “Nathan?” tanyaku seakan tak percaya.
“kamu makin mungil mel, haha.” Balasnya. Spontan saja aku berlari kearahnya dan
memeluknya dengan erat. “kamu jahat tan, kamu membiarkan aku menunggu begitu
lama, tanpa kabar.” Aku menangis. “maafkan aku mel, maaf sudah membuatmu
menunggu. Aku sayang kamu mel” pelukan Nathan makin erat. Aku sungguh senang.
Perasaanku pun meledak. Je T’aime, mel. Aku sayang kamu, Nathan.
Komentar
Posting Komentar